Banda Aceh - Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa telah disahkan pada 15 April 2024 lalu. Salah satu poin penting dalam undang-undang ini adalah perubahan masa jabatan kepala desa menjadi 8 tahun dengan maksimal dua periode.
Dalam Pasal 39 ayat 1 dijelaskan bahwa Kepala Desa memegang jabatan selama 8 terhitung sejak tanggal pelantikan. Kemudian, Pasal 39 ayat 2 mengatur bahwa Kepala Desa dapat menjabat maksimal 2 kali masa jabatan, baik secara berturut-turut maupun tidak. Dengan disahkannya UU ini, maka masa jabatan Kepala Desa bisa mencapai 16 tahun.
Pemberlakuan UU No 3 Tahun 2024 tentang desa membawa kabar gembira terhadap desa-desa di seluruh Indonesia, kecuali Jakarta. Namun, mirisnya upaya diskriminasi UU negera itu telah terjadi di Aceh oleh oknum-oknum pejabatan daerah di Aceh.
Upaya penentangan undang-undang desa No 3 Tahun 2024 telah terjadi beberapa kali sejak pengesahannya, dimulai dari isu penentangan UU 18 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, hingga selebaran surat-surat bodong kepala daerah sebagai instruksi perintah yang dapat menghambat implementasi UU No 3 Tahun 2024 terhadap desa-desa di Aceh.
Hal tersebut tentunya telah memicu penolakan seluruh kepala desa di seluruh Kabupaten Kota Di Aceh, Kepala Desa yang dipayungi oleh Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Aceh menggelar beberapa kali unjuk rasa, guna meminta penerapan Undang-undang terkait jangan dipolitisir dan didiskriminasi oleh Pemerintah Daerah terkait.
“Undang-undang negera memiliki nilai hukum yang ingkrah, tapi nasib kami sebagai kepala desa di Aceh, hingga saat ini belum ada kepastian hukumnya. Jabatan kami terkatung-katung, sementara banyak desa-desa di seluruh Aceh tak terkecuali Aceh Utara telah terhadap perencanaan dan percepatan dana desa, disebabkan masa jabatan kepala desa telah habis,” ungkap Ketua APDESI Aceh Utara, Agusri, Kamis (06/02/2025).
Agusri melanjutkan, dalam implentasi UU No 3 Tahun 2024 tidak hanya berfokus pada kepentingan perpanjangan masa jabatan Geuchik dan BPD saja, namun, terdapat poin-poin penting lainnya yang akan sangat menguntungkan bagi pembangunan Negara melalui desa.
“UU ini merupakan apresiasi keberhasilan pembangunan negara yang langsung menyentuh desa, tidak hanya berfokus pada kepentingan perpanjangan masa jabatan Geuchik dua tahun,” tambahnya.
Sementara Ketua APDESI Aceh, Wilda Mukhlis, S. Hi menyebutkan, pengangkatan isu bahwa UU No 3 Tahun 2024 bertentangan dengan UU PA No 11 Tahun 2006 yang telah diubah menjadi UU No 18 Tahun 2019. Namun, telah dijawab melalui rekomendasi dari Pemerintah Aceh Bersama Dewan Perwakilan Aceh (DPRA) untuk penerapan UU No 3 Tahun 2024 di Aceh tidak bertentangan dengan UU manapun. Intinya Pemerintah Aceh telah menjawab keresahan para Geuchik di Aceh, bahwa implentasi UU terkait akan berlaku di Aceh.
Isu politisasi kepala daerah, ada isu yang berhembus di tengah-tengah implentasi UU No 3 Tahun 2024 terhadap desa-desa di Aceh, para pemangku kepentingan politik, menggunakan isu tersebut untuk kepentiknya politiknya. Secara kearifan lokal Aceh, apalagi hubungan Aceh dengan Negera Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terus membaik, Muzakir Manaf atau lebih kerap disapa Mualem terpilih sebagai putra terbaik Aceh yang menjadi kepala daerah atau Gubernur terpilih untuk Aceh. Mualem selaku pemangku kependingan MoU Aceh tidak menaruh keberatan untuk implementasi UU No 3 Tahun 2024 untuk diterapkan di Aceh. Justru, Mualem mendukung penuh upaya APDESI dalam menuntut penerapan UU terkait segera di Aceh, dengan alasan dan tujuan, agar Pemerintah Desa di Aceh normal dan terus meningkatkan pembangunan dan pembinaan desa tanpa hambatan.
Pada tanggal 26 November 2024 surat penegasan Kementerian Dalam Negeri dengan nomoe. 100.3.5.5/6349/SJ disampaikan kepada Pj. Gubernur Aceh, surat tersebut menjawab surat Gubernur Aceh sebelumnya yang disampaikan pada tanggal 23 September 2024 dengan Nomor. 400.14.1.3/11352 perihal rekomendasi Pemerintah daerah terkait UU No 3 Tahun 2024.
Isi surat Kementerian Dalam Negeri yang dilegatimasi oleh Plt. Sektaris Jenderal Kemendes, Komjen Pol. Drs. Tomsi Tohir, M, Si menegaskan atas Pemberlakuan UU No 3 Tahun 2024 tentang perubahan atas Undang-undang No 6 Tahun 2006 tentang desa.
Surat ini menegaskan Kembali surat edaran Sekjen Kemendes tertanggal 5 Juni 2024 hal penegasan pasal peralihan terkait kepala desa dan BPD dalam UU No 3 Tahun 2024. Dalam surat itu juga menegaskan UU itu ditujukan kepada setiap Propinsi di Indonesia, kecuali Jakarta.
Hasil surat penegasakan kedua Sekjen Kemendes RI ini melahirkan selembar surat edaran atas nama Gubernur Aceh yang dilegatimasi oleh Plt. Sekretaris Daerah Aceh, Muhammad Diwarsyah M. Si dengan nomor 100.3/18623 tertanggal 27 Desember 2024 dengan sifat “segera” dengan isi surat meneruskan penegasan surat Sekjen Kemendagri No 100.3.5.5/6349/SJ tertanggal 26 November 2024.
Keputusan demi keputusan, surat-surat aneh pun beterbangan. Tampaknya UU No 3 Tahun 2024 dan surat-surat penegasan dari Negara tidak menjadi acuan bagi oknum-oknum pejabat daerah, dimana beberapa surat mewakili daerah telah mengangkangi surat-surat penting negara terkait.
Pada tanggal 13 Januari 2025, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong dengan Nomor 414.2/18/DPMG membalas surat Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung, Keluara Berencana Aceh Tamieng, dimana surat tersebut mempertanyakan kelanjutan penerapatan aturan UU No 3 Tahun 2024 yang disampaikan pada tanggal 07 Januari 2025. Namun, balasan surat tersebut sangat mengejutkan, dimana DPMG Aceh mengintruksikan penerapan Peraturan Desa mengacu kepada UU No 11 Tahun 2006 Pasal 13 tetang masa jabatan Kepala Desa.
Imbasnya, penolakan besar-besaran terjadi, dimana Asosiasi Geuchik seluruh Aceh unjuk diri atas Diskrimasi UU No 3 Tahun 2024 atas surat instruksi DPMG Aceh, unjuk rasa para Geuchik dibawah APDESI Aceh juga terjadi. Terhadap aksi ini DPMG membataskan suratnya tersebut melalui surat kedua yang dikirimkan kepada Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong Kabupaten Aceh Tamieng tertanggal 03 Februari 2025.
Dalam surat bernomor 414.2/53/DPMG itu menyatakan surat DPMG sebelumnya dicabut dan mengintruksikan ulang, terkait peraturan desa mengacu kepala UU No 3 Tahun 2024.
Setelah Kabupaten Aceh Tamieng, surat bodong kembali hadir pada tanggal 22 Januari 2025, kali ini surat edaran tanpa tembusan yang diklaim sebagai surat cacat demi hukum ini disampaikan oleh Pj. Bupati Aceh Utara, Mahyuzar. Dalam surat itu Pj. Bupati terkait tentang Pelaksanan Pemilihan Imum Mukim dan Pemilihan Geuchik Dalam Kabupaten Aceh Utara, surat ini Pj. Bupati dengan Nomor 141 Tahun 2025 meminta kepada seluruh Camat di Aceh Utara untuk mempedomani acuan UU No 11 Tahun 2006.
Surat edaran ini Kembali mengejutkan para pihak, dianggap telah tuntaskan peratusan desa, akan tetapi Kembali mencuat surat tersebut, Ketika para Camat di Aceh Utara melayangkan surat perintah terhadap desa yang ditujukan kepala BPD, dengan perintah untuk segera mengusulkan Pj Geuchik bagi desa-desa yang telah menuai masa jabatan Geuchik yaitu di bulan Desember 2024, Januari dan Februari 2025. Tak hanya itu, Camat juga memerintah Tuha Peuet untuk segera menetapkan P2G ditiap desa.
Seperti surat Camat Langkahan, dengan nomor 141/78 tertanggal 31 Januari 2025, surat ini diduga sengaja disurutkan tanggal. Pasalnya, surat tersebut dikirimkan kepada Tuha Peut empat desa di Langkahan meliputi Seureuke, Matang Keutapang, Alue Dua dan Krueng Lingka pada tanggal 02 Februari 2025. Dalam surat ini, Camat mempedomani surat edaran Pj. Bupati Aceh Utara guna memerintahkan BPD untuk segera mengusulkan Pj Geuchik dan Pembentukan P2G di desa-desa yang menjadi objek surat.
“Surat-surat ini memicu kemarahan besar para Geuchik, kami menilai Pemerintah ditempat kami tidak sedikitpun menghargai aturan, juga kinerja kami,” kata Ketua APDESI Aceh Utara, Agusri.
APDESI meminta ketegasan yang pasti, agar Kepala Desa tidak bingung menghadapi kondisi ini. Sekarang di Aceh berlaku rangkap aturan, antara surat perintah Pemerintah Daerah dan UU No 3 Tahun 2024 beserta penegasan yang sebelumnya yang telah disampaikan.
"Kami mempertanyakan, seberapa layak surat Pj. Bupati yang kami anggap dengan semena-mena mengedar surat yang bertentangan dengan UU yang inkrah,?” lanjutnya.
Kepada Pemerintah Pusat, ia meminta perhatian, agar masalah ini dapat selesai dengan segera agar pihak desa dapat mengambil keputusan, mengingat banyak desa di Aceh Utara yang saat ini mengalami stagnasi.
“Jika memang harus mengacu terhadap UU No 11 Tahun 2006, maka Pemerintah Daerah mengeluarkan surat yang jelas, jangan dua aturan seperti ini. Untuk sementara peraturan Pemerintah yang lainnya juga perlu diperhatikan, karena banyak program-program Nasional lainnya yang perku segera diterapkan seperti Swasembada Pangan, Makan Siang Gratis, Ketahanan Pangan dan Juga dibidang Kesahatan,” tutup ketua APDESI Aceh Utara.(Sul/Pen/Red)