ACEH UTARA - Ketua Pusat Analisis dan Kajian Advokasi Rakyat (PAKAR) Aceh Utara, Hidayatul Akbar SH menilai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan paslon Gubernur Aceh Muzakir Manaf-T.A.Khalid menciderai pemberlakuan kekhususan di Aceh.
Padahal secara konstitusi, kata Hidayat, dalam UUD 1945 pasal 18B ayat 1 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang. Seharusnya MK sebagai pengawal konstitusi Indonesia menghormati pasal dalam konstitusi tersebut.
"Bagaimana kepala pemerintah Aceh loyal terhadap UUPA yang merupakan kekhususan Aceh jika dalam penetapannya sebagai pucuk pimpinan pemerintah Aceh menggunakan UU Pilkada yang berlaku nasional," ujar Hidayat, yang diwawancarai Kabar Satu, Kamis (6/4/2017).
Pun begitu, Hidayat menegaskan dalam hal ini dirinya bukan menyalahi siapa yang kalah dan terpilih dalam pemilihan gubernur, karena menurutnya itu adalah hak mutlak rakyat dalam memilih.
Sementara menanggapi soal putusan MK tentang pencabutan kewenangan Mendagri dalam membatalkan perda (Qanun) Hidayat mengatakan dapat berakibat qanun Aceh yang selama ini masih dalam verifikasi Mendagri atau masa cooling down maka secara otomatis itu telah sah berlaku termasuk qanun nomor 3 Tahun 2013 tentang bendera dan lambang Aceh yang selama ini terus menerus menjadi tarik ulur antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh.
Secara otomatis cooling down ini batal. Karena cooling down itu menunggu persetujuan Mendagri sementara persetujuan mendagri dalam penetapan perda sudah tidak dibutuhkan lagi karena kewenangan pembatalan qanun telah dicabut oleh MK. Artinya, qanun tersebut telah sah dan meminta gubernur sebagai eksekutor dari sebuah aturan untuk memerintahkan seluruh instansi-instansi pemerintah Aceh agar segera mengibarkan bendera bintang bulan dan menggunakan buraq singa sebagai lambang daerah. [Sarif]